Di tatar Sunda, seperti di daerah-daerah lainnya, lahir berbagai istilah yang terkait dengan ritual agama. Contohnya mepeg Rewah munggah Puasa; artinya: “Menutup bulan Syaban, menaiki bulan Ramadhan”. Mepeg atau mepet artinya “menyumbat”, “menutup”. Seperti ungkapan “isukan mepet”, maksudnya adalah besok akan menyumbat pancaindera dan mengekang nafsu. Dalam bahasa Jawa disebut megeng, atau megung nafsu yang serung lepas. Munggah berasal dari kata unggah, artinya “naik”, “miraj”. Tidak dikatakan munggah kecuali untuk puasa dan haji: munggah puasa dan munggah haji. Hal itu adalah sebuah kearifan, bahwa esok lebih tinggi dari hari ini; maksudnya: kita harus munggah dalam pengabdian. Maka berpuasa itu berat bagi yang hanya menahan makan dan minum, ringan bagi yang semata-mata hendak mengabdi; peribahasanya: nu puasa nu teu unggah kana seliran.
Pada bulan Ramadhan, kita biasa mengisi malamnya dengan shalat tarawih, dan juga tadarus semalaman karena mengharapkan katinggang Lailatul-Qadar. Disebut “katinggang” (tertimpa) karena Al-Quran sendiri menyatakan bahwa Lailatul-Qadar itu turun atau jatuh: inna anzalnaahu fi lailatil-qadri (QS.97:1); artinya: akhirat turun ke dunia.
Orang yang makan-minum di tengah hari bolong disebut “bocor”; istilah yang biasa dipakai dalam palayaran ketika yang air merembes masuk kapal. Sekalipun terhadap istri, bila siang hari maka tidak boleh didekati karena membatalkan puasa, seperti perahu “bocor” digedor-gedor.
Sebaliknya, ketika sudah waktu surup panonpoe (tenggelamnya matahari) disebut “buka” , bukan “tutup”. Ini adalah siloka agama yang menegaskan bahwa puasa itu bukan tindakan yang bisa ditutup atau diakhiri, tetapi sebuah proses yang menghasilkan buah-buah perjalanan tatkala Gusti Allah membuka pintu-Nya di waktu surup. Bukan surup panonpoe, tetapi surup kalbu dalam proses berpuasa. Bila puasa membuahkan surup kalbu, maka akan muncul balungbang wetan tanda terbitnya purnama pengabdian.
Puasa menurut HHM
Menjelang lebaran, ada sebuah kewajiban yang harus dipenuhi, yakni membayar fitrah. Lalu pagi harinya ada shalat ied, khotbah, turun mimbar, takbir, nadran, salam- salaman. Di Jawa: halal bi halal, di Sunda: silaturahmi; maksudnya adalah bertemu untuk saling memaafkan sekalipun tidak punya dosa. Istilah “lebaran” menurut sebagian orang artinya “bubaran dosa”, sebagian mengatakan “lebaran tina dosa”, sebagian lainnya mengatakan “lebaran karugian”. Kalau dalam bahasa Arab disebut yaumul ied , artinya: hari kembali kepada Tuhan; atau iedul fitri, artinya: kembali fitrah. Semua siloka agama itu — iedul fitri, zakat fitrah — merupakan penanda kembalinya manusia dalam keadaan suci atau, dengan kata lain, keluar dari puasa dengan membawa bati, keuntungan, dari berpuasa.
Karena itu dalam agama disebutkan bahwa yang sedang berpuasa hendaknya menghindari pertengkaran, karena dekat dengan amarah, dekat dengan api nafsu. Dan dikatakan: yang berpuasa celaka karena amarahnya , yang tidak berpuasa karena dosanya; maksudnya agar segala hal yang membawa kepada kesesatan nafsu, atau menyimpangkan manusia dari jalan taubat, harus dijauhi.
Bagaimana orang yang tidak puasa? demikian sisindirannya: keur ngagelar masamoan jeung dunungan, ulah lukak-jalingkak cara keur ngencar; malah ditambah: sumawona petingan walilat (malam takbiran). Maksudnya: Saat dijamu Tuhan (dengan puasa), jangan berperilaku seenaknya; apalagi di malam takbiran, jangan pusing karena urusan lebaran. Nah, pantes, tidak mendapatkan hidangan lebaran dari Pangeran, karena bagi kita lebaran lebih sebagai hari pesta daripada hari penyucian.
Bukan hanya puasa, ibadah apapun tergantung yang mengolahnya, seperti peribahasa: nu alus arihna, akeulna, tangtu lewih alus jeung lewih pulen. Sekalipun puasa seumur hidup atau bertemu ramadhan berkali-kali, belum tentu mendapatkan buah yang matang, jika kurang jika kurang alus ngarihna, kurang alus ngakeulna.
Siloka agama: yang mati di bulan puasa tidak akan disiksa, tidak dihisab. Kita gembira kalau bisa mati di bulan puasa sebab merasa banyak dosa, senang tidak akan kena hisab sebab merasa banyak hutang — dan hutang terbesar adalah janji kepada Gusti. Padahal bukan itu maksudnya. Ada lagi siloka: bulan puasa setan-setan dipenjara, serta malaikat-malaikat menutup pintu neraka dan membuka pintu surga. Memang enak kedengarannya. Itu tandanya tidak mengerti, tidak paham agama, tidak tahu hakikatnya.
Maksudnya ‘mati di bulan puasa’ adalah mereka yang mati dalam puasanya, hilang iri-dengki, musnah kecintaan duniawi; itulah yang akan memperoleh bati, buah matang dari puasanya. Tidak disiksa? sebab apa dosanya. Tidak dihisab? sebab apa yang harus dihisabnya — sesorang akan dihisab bila mati membawa urusan yang tidak hak bagi dirinya. Lagi pula, bukan mati sembarang mati, namun yang ‘eling jatnika’ dirinya.
Maksudnya ‘setan dipenjara’ adalah bagi orang yang berpuasa. Mereka yang matang puasanya maka jurig nyingkir setan nyingkah, akrab dengan malaikat yang tidak punya syahwat, tidak punya nafsu, terkunci gerbang amarahnya. Kapan jadi lagi? nanti setelah maghrib: setan keluar sarangnya seperti kelelawar keluar dari guanya. Tetapi, barangsiapa yang kuat mengunci pintu hatinya, itulah pemilik siloka ini.
+++
HAJI HASAN MUSTAPA (HHM), lahir di Garut 15 Syaban 1268H (4 Juni 1852M) dan wafat di Bandung 19 Syaban 1348H (19 Januari 1930M), pujangga, ulama dan sufi besar tatar Sunda mutaakhirin