Dalam kisah klasik “Musyawarah Burung” karya Fariduddin Attar, diceritakan bahwa pada masa pergolakan besar dan kegelapan, ribuan kawanan burung tiba-tiba melihat kilasan citra penyatuan dalam wujud selembar bulu yang bercahaya. Terdorong oleh pandangan sekilas itu maka burung-burung pun merencanakan pengembaraan untuk mencari tahu milik siapakah bulu-bulu bercahaya itu?
Musyawarah Burung - sehelai bulu Simurgh yang jatuh.
Narasi dalam bentuk puitis ini ditulis pada abad kesebelas oleh mistikus Persia bernama Fariduddin Attar; yang berisi hikayat luar biasa, dengan episode-episode yang panjang, yang secara tepat menggambarkan perjalanan penuh resiko dari jiwa untuk menemukan inti dari jiwa.
Ketika bulu yang bercahaya melayang jatuh dari langit, seekor burung paling bijak mengatakan bahwa bulu ini sebenarnya adalah prekognisi — kilatan visi tentang Simurgh yang Maha Agung.
Oh, tentu saja kawanan burung itu tertantang. Mereka terdiri dari berbagai jenis: yang berparuh pendek, yang berparuh panjang, yang warna-warni, yang polos, yang besar, maupun yang kecil; semuanya menyaksikan pemandangan bulu bercahaya yang tiba-tiba jatuh dari langit dan sekejap menghilang. Suara mereka bagai gemuruh ketika mereka mulai mengepakkan sayap menembus langit, mencari sumber cahaya. Mereka percaya bahwa makhluk berkuasa ini sedemikian menakjubkan dan dapat menerangi dunia mereka yang sedang berada dalam kegelapan. Maka mereka pun mulai melakukan petualangan untuk mencari Phoenix yang memiliki bulu dari api dan dapat bangkit dari debu ketiadaan untuk kembali kepada gemilangnya penyatuan.
Dalam pencarian agung ini, terdapat burung-burung yang menyimpang dari jalan dan memilih pulang. Pada mulanya, ribuan burung turut berangkat untuk menyebrangi tujuh lembah yang masing-masing menghadirkan beragam halangan dan tantangan yang berbeda. Semakin jauh perjalanan, mereka harus menghadapi kondisi yang semakin tidak bersahabat serta penderitaan yang perih bertubi-tubi — termasuk pemandangan yang mengerikan, keraguan yang mengguncang, dan penyesalan tidak berkesudahan. Mereka rindu pulang. Mereka diayun keputusasaan dan kelelahan. Mereka tidak merasakan kenyamanan, atau istirahat, atau balasan untuk waktu yang lama.
Dengan demikian, satu persatu burung-burung mulai menyerah dan semakin lama semakin meningkat. Hingga di akhir perjalanan yang tersisa tinggal 30 ekor burung, yang sejak awal memulai perjalanan yang keras ini dengan hati yang sungguh-sungguh — semuanya mencari hakikat Kebenaran dan Penyatuan — dan di atas semua itu, berharap dapat menerangi kegelapan dunia.
Pada akhirnya, ketiga-puluh burung tersebut menyadari bahwa ketekunan, pengorbanan, dan kesetiaan mereka pada jalan adalah lembaran bulu-bulu bercahaya — dan pada dasarnya bulu bercahaya itu ada dalam diri mereka, yang gelisah mencari jalan pulang kepada Keabadian, dan sekali lagi akan menerangi kegelapan dunia. Bahwa mitos bulu bercahaya itu selalu ada, tersembunyi di dalam hati setiap burung perindu.
Sekali lagi, Fariduddin Attar bertanya: “Haruskah saya melangkah pulang atau tidak?” Jawabannya diberikan dalam sebuah syair:
Siapapun yang ingin mengambil jalan Biarkan ia berangkat! Adakah nasihat lain yang lebih baik?
:::Clarissa Pinkola Estes, dalam Kata Pengantar buku The Hero with Thousand Faces karya Joseph Campbell.