Bahwasannya qalb dan semua kandungannya merupakan gudang segala rahasia dan tambang segala permata. Telah tertanam padanya segala jauhar, laksana api yang terpatri pada besi dan tembaga, laksana air yang terserap pada debu dan tanah liat. Tiada jalan untuk memeras segala kekayaan hati selain dengan terbetiknya pendengaran, tak ada yang bisa menembusnya selain bunyi dan suara.
Maka segala bebunyian berirama yang terstruktur dan menyenangkan dapat menembus apa-apa yang terkandung dalam hati sekaligus mengungkap kebaikan dan keburukannya. Adalah hati manakala ia tergerak maka tidaklah ia bertingkah selain menurut apa yang dikandungnya, sebagaimana kendi tidak menuangkan minuman selain menurut isi airnya.
Dengan demikian pendengaran bagi hati adalah referensi yang jujur dan cermin yang berkata-kata, karena tidaklah sampai suatu esensi bebunyian ke dalam hati kecuali apa-apa yang terkandung di dalamnya telah terpanggil untuk mendengarkan.
Bahwasannya hati itu secara fitrah patuh pada suara, sehingga apapun yang didengar dapat mengeluarkan apapun yang tersembunyi padanya tanpa terkecuali. Dan sebagaimana ilmu mengetuk pikiran kepada objek-objek pengetahuan, maka pendengeran itu mengetuk hati kepada alam ruhani.
Ketahuilah, bahwasannya pendengaran adalah akar segala perkara, buah pendengaran adalah kesan di dalam hati yang disebut ekstasi (al-wajd); dan buah ekstasi adalah gerakan pada anggota badan. Gerakan yang tidak beraturan disebut keguncangan (al-idhthirab), adapun gerakan yang teratur [sesuai irama] disebut tepukan dan tarian.
Instrumen Musik Arab
Apa Hukum Bebunyian?
Sebagaimana dinukil dari Al-Thabari berdasarkan pendapat dari ulama berbagai madzhab seperti dari Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan, dan berbagai ulama lainnya, dia menyimpulkan bahwa nyanyian dan musik itu makruh bahkan haram. Namun, Abu Thalib al-Makki berpendapat bahwa hukum nyanyian dan musik adalah mubah berdasarkan atsar-atsar yang sampai padanya dari para sahabat dan tabi’in seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Mughirah bin Sya’bah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan lainnya.
Menurut Al-Makki perkara ini dilakukan oleh kebanyakan salafu-shalih, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in; dan bahwasannya sudah menjadi kebiasaan masyarakat Hijaz di Mekkah biasa mendengarkan nyanyian pada hari-hari besar, yakni pada hari di mana Allah memerintahkan untuk memperbanyak dzikir seperti hari Tasyriq, dan hal serupa dilakukan pula oleh masyarakat muslim di Madinah sejak awal. Berikut adalah beberapa hadits dan atsar terkait hal tersebut.
Nabi saw bersabda: “Allah tiada mengutus seorang nabi kecuali merdu suaranya.” (H.R. Tirmidzi). Dan di antara nabi yang terbaik suaranya adalah Daud a.s.
Nabi saw berkata tentang Abu Musa: “Sesungguhnya telah diberikan kepadanya [Abu Musa al-Asy’ari] seruling dari seruling-seruling keluarga Daud.” (H.R. Bukhari-Muslim).
Aisyah r.a. berkata: “Para sahabat biasa bertukar pantun di hadapan Nabi saw, dan beliau saw tersenyum mendengarnya.” (H.R. Tirmidzi).
Dari ‘Amru bin al-Syuraid bahwa ayahnya (Al-Syuraid) berkata: “Aku melantunkan seratus bait syair karya Ummiyah bin Abi Shult [non-muslim] di hadapan Rasulullah saw, dan beliau menerimanya dan berkata,’Teruskan! teruskan!’; lalu beliau melanjutkan, ‘Dekatilah Ummiyah, syair-syairnya menunjukkan dia telah berserah diri’.” (H.R. Muslim).
Adalah Nabi Muhammad saw, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim, pada saat pembangunan masjid di Madinah turut serta mengangkat batu-merah (al-labin) bersama para penduduk, lalu beliau saw melantunkan madah:
Beban ini tidak seberat perang Khaibar //
namun di sisi Rabb lebih menyucikan //
Adalah Nabi saw meletakan sebuah mimbar untuk Hassan bin Tsabit di dalam masjid Nabawi agar dia bisa melantunkan syair-syairnya, dan kepadanya Rasulullah saw berkata: “Sesungguhnya Allah menguatkan Hassan bin Tsabit dengan Ruhul-Qudus yang memberinya inspirasi terkait puji-pujian terhadap Rasulullah saw.” (H.R. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Al-Hakim).
Dari Anas r.a. bahwasannya Nabi saw mendengar lantunan syair para penunggang unta, di mana pada rombongan wanita ada kusir Anjusyah dan pada rombongan laki-laki ada kusir Barra bin Malik; lalu pada suatu ketika Rasulullah saw berkata: “Wahai Anjusyah, pelan-pelanlah membawa gelas kaca yang mudah pecah itu!” (H.R. Bukhari-Muslim), yakni para wanita. Dan merupakan tradisi orang Arab untuk mengendalikan unta dengan nyanyian.
Demikian pula tatkala Rasulullah saw melakukan hijrah, maka para wanita di Madinah menaiki atap rumah dan menyambut beliau saw dengan nyanyian dan tabuhan rebana:
Tala’al-badru ‘alainaa; min tsaniyyaatil-wadaa’i //
wajabas-syukru ‘alainaa; maa da’aa lillahi daa’i //
Kemudian dari Aisyah r.a. bahwasanya pada suatu ketika ada orang-orang Habsyi (Ethiopia) tengah melakukan permainan di dalam Masjid Nabawi: Nabi saw menutupkan selendangnya di kepalaku agar aku bisa melihar orang-orang Habsyi itu, dan mereka bermain di dalam masjid Nabawi. Kemudian Umar r.a. datang dan menghardik mereka, tetapi Nabi saw berkata: “Aku jamin keamananmu, wahai Bani Arfadah!” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa orang-orang Habsyi itu memainkan rebana dan bernyanyi di dalam Masjid Nabawi.
Berdasarkan semua dalil yang ada, bahwasannya puisi, lagu, dan musik, serta tarian dan permainan tidaklah terlarang. Jika ada yang mengatakan pengharaman itu berdasarkan nash dan qiyas, maka tidak ada satu pun nash Al-Quran yang mengharamkannya dan tidak ada pula qiyas yang lurus.
Bahwasannya segala sesuatu mendapat kebahagiaan untuk apa ia diciptakan. Mata senang dengan segala warna dan pemandangan yang indah; lidah senang dengan segala aneka rasa yang sedap; hidung senang dengan wewangian yang menyenangkan; kulit senang dengan berbagai permukaan yang lembut; dan demikian juga telinga senang dengan segala suara yang merdu, teratur dan berirama. Itu adalah natur dari masing-masing panca indera.
Jika ada yang bertanya apakah nyanyian itu bisa berubah menjadi haram? Aku menjawab: bisa, dan itu datang dari lima perkara: si pelantun nyanyian, instrumen yang digunakan, isi lagu yang dinyanyikan, si pendengar nyanyian, dan kesiapan orang yang mendengarkan nyanyian. Misalkan isi lagu yang berisi kemunkaran, ajakan pada syahwat, dan kerinduan pada yang tidak hak, maka hal tersebut dapat berubah menjadi haram. Namun, pada dirinya sendiri, segala bentuk suara dan bebunyian tidaklah diharamkan.
Suara-suara ritmis, baik yang memiliki makna seperti syair maupun yang berupa bebunyian seperti musik, tidaklah diharamkan. Puisi atau syair tidaklah diharamkan, demikian juga pelantunan puisi. Bagaimana mungkin semua itu haram sementara para sahabat biasa melantunkan syair di hadapan Nabi saw? Dan Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya dari [sebagian] syair terdapat hikmah.” (H.R. Bukhari).
Apa yang Dimaksud Al-Wajd (Ekstasi)?
Ketika Islam datang, tradisi mengendalikan unta dengan nyanyian (al-hudā’u) tidak hilang dari masyarakat Arab. Hal tersebut terus berlaku pada zaman Nabi saw dan para sahabat, seperti hadits tentang Anjusyah. Dan apakah al-hudā’u? Itu tidak lain dari syair yang dilantunkan dengan suara merdu dan melodi beraturan. Tidak ada seorang pun sahabat yang melarangnya, bahkan mereka sering menggunakannya baik untuk mengendalikan unta maupun sekedar kesenangan saja.
Allah maha mengetahui rahasia di balik relasi antara alunan suara dengan aspek ruhani, sehingga memberi kesan kepada jiwa secara menakjubkan.
Beberapa jenis suara membawa kegembiraan, jenis yang lain membawa kesedihan, ada pula yang membuat tertidur atau tertawa, juga membuat badan bergoyang. Jangan menganggap itu hanya berlaku untuk syair yang bisa dipahami nalar, tetapi juga ditimbulkan oleh petikan senar-senar dawai. Maka dikatakan: Orang yang tidak tersentuh oleh datangnya musim semi dan kecantikan bunga-bunganya, juga oleh ‘oud (gambus) dan denting senar-senarnya, dia telah rusak syarafnya dan tiada obat baginya.
Bagaimana mungkin hal itu semata terkait pemahaman, manakala nyanyian yang merdu bisa menghentikan tangisan bayi yang masih dalam buaian? Bagaimana pula unta berlari dan melupakan beban beratnya hanya dengan nyanyian?
Membekasnya nyanyian pada hati itu nyata terlihat, dan barangsiapa yang tidak tersentuh olehnya maka dia memiliki kekurangan dalam timbangan nurani, jauh dari aspek ruhani, dan hatinya lebih keras dari unta bahkan dari semua hewan liar. Burung-burung saja mendatangi Daud a.s. untuk mendengarkan suaranya, maka mengapa manusia tidak?
Terkait kesan dari nyanyian dan musik pada hati (al-wajd) maka tidaklah mungkin untuk menghukuminya secara mutlak sebagai “mubah” ataupun “haram”. Ahwal dan situasi setiap orang adalah berbeda-beda, jenis lagu dan musik juga berbeda-beda, sehingga hukumnya adalah sesuai hati orang yang bersangkutan. Sebagaimana disinggung dalam Risalah al-Qusyairi, “Suara tidak mendatangkan sesuatu yang baru pada hati, melainkan membangunkan apa yang ada di dalamnya.”
Suara itu fenomena alam [dalam hukum fisika modern adalah “gelombang”]. Artinya: dia tidak mengandung apapun selain suara itu sendiri [gelombang] dengan irama dan lagu tertentu. Segala makhluk yang memiliki pendengaran, baik unta maupun manusia, bisa menikmatinya namun mereka memiliki frekuensi favorit masing-masing.
Kemudian ada dari suara yang memiliki makna, dan hal itu menuntut pemahaman. Kemudian dari pemahaman itu muncul tarikan pada jiwa untuk menimbang keadaan dirinya dan hubungannya dengan Allah. Apabila ia mendengar dari syair-syair suatu umpatan atau pujian, kesedihan atau kegembiraan, keputusasaan atau pengharapan, perpisahan dan kerinduan, hatta jika ada yang bekesesuaian dengan keadaan dirinya maka berlakulah keadaan itu sebagaimana api menyalakan urat-urat di hati. Kemudian, lebih dari itu, ada yang melampaui hal ihwal dirinya lalu lenyap daripada memahami selain Allah Ta’ala.
Dzunnun al-Misri berkata bahwa al-wajd adalah warid yang benar yang datang mengguncang hati kepada Al-Haq. Sungguh, banyak perkataan kaum sufi dan kaum hukama tentang al-wajd, tapi cukuplah aku katakan: al-wajd ialah tamsil dari keadaan yang dihasilkan oleh pendengaran, yakni warid yang benar dan baru akibat dari suara yang mengetuk jiwa si pendengar.